Tiba-tiba musik bossa nova terdengar di ruang kompetisi. Anu (sungguh, memang nama sebenarnya) mulai menari mengikuti irama dari musik tersebut sambil menimang-nimang beras kopi. Ketika ia merasa sudah siap, ia memasukan beras kopi tersebut ke dalam mesin roasting di hadapannya. Sembari ia memperhatikan gerak gerik biji kopi di dalam mesin roasting, ia terus memberikan gerak gerik yang luwes mengikuti irama bossa nova di ruangan itu. Saat kami tanya mengapa ia meminta panitia untuk memutarkan lagu bossa nova ketika ia bertanding, singkat saja jawabnya.

Roasting coffee harus dibawa fun,” kata Mas Anu.

Dan begitulah bagaimana Indonesia Roasting Championship berlangsung. It’s fun. Namun, meski terlihat fun dan penuh dengan canda, roaster yang bertanding tidak main-main dengan kopi.

jateng-coffee-fest-irc-2016-lomba-roasting-anu-roasting-3

Anu, memanggang kopi di IRC diiringi musik bossa nova.

jateng-coffee-fest-irc-2016-lomba-roasting-siapa-ngapain-1

 

jateng-coffee-fest-irc-2016-lomba-roasting-siapa-ngapain-2

Indonesia Roasting Championship (IRC) hadir satu paket dengan Indonesia Blending and Brewing Championship (IBBC). Dua kompetisi ini merupakan bagian dari Jateng Coffee Festival yang diadakan pada tanggal 4-6 Desember 2016 yang lalu di Semarang.

Selaku salah satu juri, Pepeng dari Klinik Kopi Yogyakarta, paham bahwa esensi dari kedai kopi ada pada roaster-nya.

Roaster adalah nyawa di warung kopi,” ujar Pepeng, yang juga seorang roaster sekaligus pemilik Klinik Kopi. “Dia yang mengolah biji mentah untuk memiliki karakternya masing masing. Dari sana, biji kopi tersebut akan membentuk jamaah-nya sendiri-sendiri.”

jateng-coffee-fest-ibbc-2016-lomba-blending-and-brewing-para-juri-proses-penjurian-kiri-ke-kanan-mas-pepeng-michael-aditya-iskandar-yohannes-evani-jesslyn

Para juri IRC 2016, kiri ke kanan: Pepeng (Klinik Kopi), Michael Iskandar (Afaba Roastery), Yohannes (Fine Kofie Yogyakarta), Evanni Jesslyn (Strada Coffee Semarang).

Ada 17 roaster yang bertanding di kompetisi ini.  Peserta berasal dari Yogyakarta, Kudus, Pekalongan, dan beberapa kota lain nya. Yohannes, salah seorang juri IRC, pun terkejut dengan respon masyarakat terhadap kompetisi ini.

“Kompetisi roasting kali ini peminatnya banyak, namun kita harus membatasi karena keterbatasan waktu dan tempat,” ujar Yohannes, juri asal Fine Kofie.

Menurut salah satu peserta, Aik dari Sruput Coffee Yogyakarta, cukup banyak nya orang yang bertanding di kompetisi IRC kali ini tak lepas dari kemunculan micro-roastery di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Tidak hanya di kota besar, namun juga kota-kota kecil seperti Kudus dan Pekalongan.

Kompetisi roasting sendiri terhitung masih cukup jarang. Para roaster peserta mengaku, mengikuti IRC merupakan kesempatan bagi mereka untuk menguji skill roasting mereka. Terutama, bagi para roaster yang mendalami coffee roasting secara otodidak. Gilang Ramadan asal Rahayu Roastery Yogyakarta, misalnya. Bagi Gilang yang baru setahun terakhir mempelajari ilmu panggang kopi, IRC membantunya menilai kemampuan diri sebagai seorang roaster.

“Kompetisi ini memberikan kesempatan bagi kami untuk menakar diri kami,” seru Gilang Ramadhan. “Kita belajar dari kesalahan, Mas. Trial and error.”

Gilang sendiri bukan satu-satunya roaster yang mempelajari roasting secara independen. Bahkan, bisa dibilang, sebagian besar peserta IRC belajar roasting secara otodidak. Kebanyakan dari mereka mengaku belajar dari ngobrol dan konsultasi dengan sesama penggiat kopi.

Dibuka dengan sesi cupping, para peserta IRC berkesempatan mengenali rasa dasar dari biji kopi Gunung Ungaran yang akan  mereka gunakan.  Dari sana, para roaster bebas untuk membawa rasa kopi tersebut ke arah rasa yang mereka inginkan. Masing masing peserta memiliki waktu 20 menit untuk melakukan proses roasting. Waktu akan mulai dihitung ketika mesin telah mencapai suhu 180’ C.

jateng-coffee-fest-irc-2016-lomba-roasting-aldi-rifaldi-1

Dari pukul delapan pagi hingga pukul empat sore, rata rata peserta menyelesaikan proses roasting-nya dalam waktu sembilan hingga lima belas menit. Biji kopi hasil roasting lalu dimasukkan ke dalam coffee bag yang kedap udara. Demi mendapatkan rasa yang maksimal, biji kopi hasil roasting para peserta didiamkan (resting) terlebih dahulu selama sehari sebelum masuk sesi penilaian.

Jika dibandingkan dengan SCAI Roasting Competition yang diadakan di Bali, Maret 2016 lalu, bentuk penilaian kompetisi IRC sebenarnya bisa dibilang jauh lebih sederhana. Menurut Evani Jesslyn selaku juri kepala (head judge), IRC mencari ‘keseimbangan’ (balance) rasa dari kopi para peserta.

jateng-coffee-fest-evanni-komunitas-pecinta-kopi-semarang-dan-istir-pak-walikota-yang-tengah-ngapain-2

jateng-coffee-fest-evanni-siapa-ngapain-1

Juri kepala IRC & IBBC 2016, Evanni Jesslyn (kanan) bersama istri Walikota Semarang Kris Septiana Hendrar Pribadi (tengah).

“Yang di Bali memang mengacu kepada peraturan kompetisi internasional,” seru Yohannes sebagai salah satu juri IRC. “Biasanya, roaster harus grading green bean nya sendiri dan score sheet nya pun jauh lebih kompleks dari kompetisi kali ini.”

IRC sendiri hadir terpisah dari rangkaian ajang kompetisi barista nasional, Indonesia Coffee Event (ICE), yang berlangsung di Bali, 2-4 Desember 2016 lalu. Meski begitu, kompetisi ini menjadi hal positif dikarenakan dapat menjadi pemanasan bagi para roaster muda dan memberikan gambaran kepada masyarakat mengenai seperti apa kompetisi roasting itu.

Setelah semua telah dinilai, maka pemenang pun di umumkan. M. Ariep Setiawan dari Yogyakarta muncul sebagai juara Indonesia Roasting Championship 2016. Tim juri memilih Arief sebagai pemenang karena kopinya hadir dengan tekstur (body) yang pas, namun tingkat keasaman (acidity) dan rasanya pun sangat kompleks.

irc-2016-lomba-roasting-juara-i-irc-muh-ariep-setiawan-jateng-coffee-fest-1

Juara I Lomba IRC 2016, Muh. Ariep Setiawan (kiri) dari Yogyakarta.

Sebagai tuan rumah dari Indonesia Roasting Championship, Semarang dinilai memiliki pergerakan kopi yang lebih lambat di banding kota-kota yang lain. Yohannes pribadi menyayangkan jumlah roaster yang masih sedikit di kota ini. Meski begitu, kehadiran Indonesia Roasting Championship kali ini tampak membawa industri kopi Semarang ke arah yang tepat.

“Sudah mulai ada beberapa brewer yang mulai ngobrol dan tanya-tanya mengenai roasting ke saya selama acara ini,” papar Yohannes.

Sebagai sesama juri dan seorang roaster, Pepeng yakin kumpulan roaster baru akan lahir secara alami dari rasa penasaran terhadap kopi itu sendiri.  Sementara itu, selaku penyelenggara acara, Evani Jesslyn berharap kompetisi ini dapat terselenggara dalam skala yang lebih besar dan dengan dukungan dari lebih banyak pihak.

(Liputan & tulisan oleh Nara Nugroho;
suntingan oleh Klara Virencia;

foto oleh Nara Nugroho;
suntingan foto oleh Andreansyah Dimas.)

Nara Nugroho

About Nara Nugroho

Memiliki sebuah kedai kopi bernama Clapper di kota Semarang. Di tempat itu, dua hal yang cintai bertemu: kopi dan film. Di sela-sela kesibukannya bersama Clapper, Nara masih aktif menulis dan membuat film.

Leave a Reply