Ngopi Epik di Tengah Parade Mebel
Tempat ngopi yang menghampar sejauh beberapa lapangan futsal itu rasa-rasanya kurang pantas disebut ‘pojok ngopi’. Sesuai namanya, segala sesuatu tentang Epic Coffee haruslah megah: halaman rumput yang boleh jadi muat untuk helikopter mendarat, langit-langit yang tingginya dua-tiga tingkat, dan jejeran furnitur yang boleh dilihat-lihat tanpa syarat.

Foto: hungerranger.com

Foto: hungerranger.com
Memang satu tujuannya.
“Orang bisa nikmatin kopi sembari liat furnitur,” jelas Pak Bram, manajer Epic Coffee, sembari memandu kami berkeliling. Berbagi lapak dengan gerai mebel, Epilog Furniture, Epic Coffee sendiri bisa jadi tempat ngopi santai untuk customer Epilog Furniture yang tengah bimbang memilih.
“Mungkin lagi bingung milih furnitur yang mana, ngopi dulu,” komentar Robi.

Interior Epic Coffee, bersatu padu dengan Epilogue Furniture. Foto: travel.kompas.com
Terangkum dalam bangunan yang serupa gudang, sekilas deretan bangku dan meja kecil di Epic Coffee nampak seperti bagian dari display Epilog Furniture. Namun memang dasar Jogjakarta, kemegahan Epic Coffee & Epilog Furniture ini tetaplah bersahaja. Kopi dan makanan di tempat aneh tapi nyata ini terjangkau kantong mahasiswa. Secangkir espresso, misalnya, tercantum 17.000 rupiah harganya.

Luas sangat. Foto: triptease.com
Ngopi Apik a la Kaki Lima
Kemewahan yang merakyat kami temukan pula di sebuah pojok angkringan. Bukannya satai jeroan, gerobak mini pinggir jalan itu malah menjajakan toples-toples isi kopi single origin.
Angkringan Kopdar itu bermula dari keisengan Mas Gilang dan kawan-kawan. Mas Gilang kala itu baru saja resmi jadi pengangguran.
“Daripada nganggur, (kami) bikin angkringan,” kenang Mas Gilang, kental dengan logat Jawanya. “Lha, pas resign itu kan aku kenal kopi single origin kayak gini, kan. Kenapa nggak kita modifikasi dikit, angkringannya jual kopi single origin. Akhirnya kebentuk lah kayak gini.”
Senapas dengan budaya nongkrong wong Jogja, Angkringan Kopdar baru buka lapak selepas maghrib.
“Kalau pagi masih jarang. Biasanya (ngopi) sambil nongkrong,” ujar Mas Gilang, menjawab Robi, “Kalau ngopi pagi biasanya di kos atau rumah masing-masing.”
Bermodalkan kopi-kopi kedaerahan (single origin) berkualitas premium (specialty coffee), kami terkejut saat tahu bahwa secangkir kopi di sini dibanderol 10.000 rupiah saja.
“Affordable luxury, nih,” celetuk Aga, sembari menyesap kopi susu pesanannya. Siapa kira kemewahan sanggup hadir lewat sepetak angkringan?
Disadur dari VivaBarista (Annisa ‘Abazh’ Amalia, Gianni Fajri,
Handoko Hendroyono, & tim Maji Piktura),
ibnuhabibi.wordpress.com,
& hungerranger.com